Jumat, 04 Juli 2008

GOCEFA GELAR BACARITA KAMPONG

TERNATE, Program pemberdayaan dan bantuan hokum bagi kaum miskin dan terpinggirkan yang dilaksanakan LSM Governance Education For Action (GOCEFA) maju selangkah. Setelah selesai melakukan sosialisasi pada empat kelompok sasaran, kelompok minoritas Tabanga, petani dan nelayan Takome, PKL Bastiong dan Gamalama, GOCEFA kemudian melanjutkan ke tahapan program bacarita kampong di dua tempat kelompok sasaran. Kelompok sasaran minoritas Tabanga dan Pedagang Kaki Lima (PKL) Bastiong.
Pada bacarita kampong kelompok sasaran masyarakat minoritas Tabanga yang digelar pada 14 November lalu, misalnya, persoalan yang muncul adalah masalah akses pendidikan, kesehatan, air bersih, akses memperoleh pekerjaan dan kepemilikan atas hak milik tanah.
“Torang pe anak-anak di sekolah selalu mendapat rangking tapi tak pernah diberikan penghargaan berupa keringanan biaya sekolah bahkan beasiswa. Begitu juga dengan air bersih dan akses mendapatkan pekerjaan di bidang pemerintahan kami rasakan masih sangat diskriminatif.” ungkap salah seorang peserta.
Persoalan lain yang membelit adalah persoalan kepemilikan tanah yang nantinya bisa menjadi kendala buat anak cucu mereka akan datang. Menurut mereka tanah yang saat ini ditempati adalah pemberian dari kesultanan Ternate kepada nenek moyang. Dan sampai saat ini tanah itu hanya hak pakai. Padahal mereka sudah lama mendiami tanah tersebut.
Menurut Mubin A. Wahid, anggota dewan kota dari komisi A yang menjadi nara sumber pada kegiatan tersebut berjanji untuk menyampaikan semua keluhan masyarakat ke pemerintah kota Ternate.
“Seharusnya pada Musrembang kelurahan, masalah-masalah ini dimasukkan sehingga bias termuat dalam APBD 2008 yang sudah disahkan. Tapi saya akan coba semampu saya untuk bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat Tabanga terutama soal pendidikan, kesehatan dan air bersih.” Kata Mubin yang prihatin dengan keluhan masyarakat Tabanga. Bahkan menurutnya, selama turun reses jarang sekali keluhan-keluhan yang berkaitan dengan hak dasar masyarakat muncul.
“Bacarita kampong yang difasilitasi GOCEFA ini luar biasa. Terus terang, ini jauh lebih efektif dari reses anggota dewan ketika melakukan jaring aspirasi masyarakat atau Musrembang kelurahan. Karena keluhannya dating dari warga tanpa di rekayasa oleh siapapun,” puji Mubin.
Lain Tabanga, lain pula persoalan pedagang kaki lima (PKL) Bastiong. Bacarita kampong yang digelar pada Sabtu, 24 November lalu di aula perikanan dan kelautan nusantara Ternate dipenuhi dengan permasalahan pedagang kaki lima. Seperti, PKL menolak jualan dalam pasar karena tempat itu tertutup dan pembeli tak masuk ke dalam pasar sehingga membuat omzet pendapatan menurun. “Torang bajual di dalam pasar itu paling laku Rp 20 – 30 ribu. Sementara torang pe anak-anak perlu biaya sekolah . Jadi torang minta pada pemerintah kota Ternate supaya ini bias diperhatikan. “ungkap salah seorang peserta yang menurutnya para PKL mau saja berjualan di pasar. Tapi harus ditertibkan terlebih dulu.
Tak hanya itu, para PKL juga sering tak mengerti soal retribusi (tagihan leo-red) yang bervariasi. Ada pkl yang dikenakan Rp 2 ribu, ada yang Rp 3 Ribu bahkan ada yang Rp 5 ribu. “Tong kadangkala bingung dengan petugas leo pasar yang tagihannya berbeda-beda antara pkl satu dengan yang lain. Torang tara tau mau minta penjelasan kemana,” kata salah satu peserta.
Menurut Makmur Gamgulu, anggota dewan kota dari komisi B, yang menjadi nara sumber berjanji memperjuangkan keluhan PKL. Termasuk juga menurutnya kesalahan ini ada pada pemerintah kota yang lemah melakukan sosialisasi perda retribusi. Seraya berharap pada PKL untuk menanyakan langsung ke petugas penagih retribusi soal retribusi yang bervariasi itu. “Kalau petugas memberikan karcis tagihan harus dilihat jumlah retribusi yang ada disitu dan dibayar sesuai dengan yang tercantum. Kalau tidak sesuai bias ditanyakan,” kata Makmur.
Dari dua kegiatan bacarita kampong itu, diketahui masyarakat selama ini tak memiliki akses informasi menyangkut kebutuhan dasar yang harus diperoleh masyarakat. Mulai dari bagaimana memperoleh informasi soal dana BOS, bagaimana memperoleh kartu miskin ASKESKIN dan kebutuhan dasar lainnya.
Menurut Syarifuddin Oesman, salah satu staf program dan menjadi penanggung jawab kegiatan bacarita kampong yang digelar sebanyak lima kali untuk setiap kelompok sasaran mengatakan permasalahan-permasalahan yang disampaikan masyarakat akan dibuat peta permasalahan tak menutup kemungkinan akan menghadirkan nara sumber yang berkompeten untuk menjelaskan permasalahan itu. “Kita juga berencana mengundang Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kota Ternate yang menjelaskan soal dana Bos. Kepala Dinas Kesehatan Kota Ternate akan menjelaskan soal program kartu ASKESKIN sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi langsung dan tak ragu berdiskusi dengan mereka.”
Bacarita kampong dalam waktu dekat dilanjutkan pada kelompok sasaran Takome dan PKL Pasar Gamalama. “Untuk Takome kita rencanakan malam hari ini (27/11) di Takome dan Pasar Gamalama pada Rabu (128/11) besok,” ungkap Syarifuddin Oesman yang biasa disapa Ipink.
Selain bacarita kampong, tahapan kegiatan lain yang akan digelar dalam waktu dekat adalah workshop yang menghadirkan perwakilan dari empat kelompok sasaran dan dialog interaktif di RRI yang juga menghadirkan utusan dari kelompok sasaran. Dan mulai membuka layanan pengaduan melalui pesawat telp (0921) 327844 dan layanan pengaduan melalui sms ke nomor 085 298 328 844 (*)

Ternate, 25 November 2007

GOCEFA Melakukan Konseling Nelayan Takome

Ternate – Membuktikan janji untuk rencana tindak lanjut dari hasil bacarita kampong dengan masyarakat nelayan Takome, Minggu (19) kemarin, Governance Education For Action atau dikenal dengan GOCEFA memfasilitasi pembentukan kelompok nelayan dan pembuatan proposal . Ikut hadir dalam konseling tersebut, kepala dinas kelautan dan perikanan Kota Ternate, Ir. Abdurahim Sukur yang didampingi tiga stafnya.
Konseling yang dilakukan GOCEFA ini menindaklanjuti bacarita kampong 30 Maret lalu, tentang adanya sinyal dari dinas kelautan dan perikanan Kota Ternate untuk memberikan bantuan pada nelayan Takome pada tahun anggaran 2008. Tapi syaratnya harus dibentuk kelompok dan harus memasukkan proposal bantuan. 
“Untuk itu, GOCEFA memfasilitasi dalam bentuk konseling terhadap nelayan. Sekaligus juga bersama-sama membentuk kelompok nelayan dan bagaimana pembuatan proposalnya. Upaya ini juga sebagai wujud membuka akses kepada warga nelayan Takome untuk memperoleh kesempatan kerja dan berusaha di bidang perikanan, ” ungkap Ali lating pada pertemuan konseling tersebut. 
Dilibatkannya Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate menurut Ali lating hanya bersifat teknis menyangkut penyusunan proposal. “Dinas perikanan yang punya proyek,makanya mereka dilibatkan agar proposal yang disusun benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat,”tambah Ali. 
Sementara kepala Dinas Kelautan dan Perikanan menyambut baik langkah yang dilakukan GOCEFA dengan melakukan pendampingan dan konseling. Ia juga mengingatkan kalau proposal itu baru sifatnya usulan. Diterima atau tidak. “Tapi saya tetap akan usahakan untuk membantu, kalau diusul 10 mungkin bisa dpaat dua atau tiga bantuan.” kata Kadis. 
Kelompok yang dibentuk sebanyak 21 kelompok. Dari 22 kelompok ini, 18 kelompok nelayan, 3 kelompok budidaya. Sementara untuk pembuatan proposal, dinas kelautan dan perikanan hanya memberikan contoh proposal. Contoh proposal ini nantinya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mengiventarisir kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diakomodir dalam proposal, tim konseling GOCEFA bersama ketua kelompok akan melakukan identifikasi pada pertemuan lanjutan. (***)

Program 2007-2010

MENGACU kepada hasil diskusi internal, selain telah menghasilkan dua program yang sementara ini dilaksanakan, GOCEFA juga telah merumuskan sejumlah program – setidaknya hingga dengan tahun 2010 – yang kesemuanya diarahkan kepada masalah-masalah perbaikan tata kelola negara/pemerintahan yang baik, yakni:
1. Kampanye Maluku Utara Bebas Korupsi.
 Perlunya kampanye anti korupsi atau gerakan Maluku Utara bebas korupsi didasarkan lapangan, bahwa segera setelah Pemekaran Wilayah di Gelar di maluku Utara, yang hamper berbarengan dengan meledaknya konflik dengan kekerasan, perilaku penyelenggaran negara – eksekutif dan legislatif – syarat dengan praktek korupsi.
 Penanganan bantuan untuk pengungsi dan dana pemekaran wilayah hanya dua di antara berpuluh-puluh kasus korupsi yang membudaya di Maluku Utara pasca pemekaran dan konflik. Dari jumlah dan skala korban yang timbul akibat korupsi, Maluku Utara tidak bisa dibandingkan dengan daerah lain. Sebab, selain jumlah (nilai) korupsi amat besar, dampak yang timbul juga sangat besar – karena ia berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan, korban kerusuhan. Sementara, proses penyelesaian kasus-kasu korupsi di Maluku Utara, sungguh-sungguh sangat mengecewakan rakyat.
2. Pendampingan Pengemangan Perdes
 Pemerintahan Desa, dalam struktur pemerintahan, bisa dibilang skalanya sangat kecil. Namun karena pemerintah Desa amat sangat dengan dengan rakyat – dibandingkan dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten/kota – maka Pemerintah Desa sebenarnya memiliki fungsi regulasi yang amat strtegis dalam memberikan pelayanan kepada masyakat.
 Masalahnya, sejak Orde Baru hingga sekarang, pemerintah Desa tidak berdaya karena memang sejak awal sengaja tidak diberdayakan. Untuk memberdayakan pemerintah desa, maka salah satu yang harus dilakukan adalah melakukan pendampingan pengembangan Peraturan Desa (Perdes). Dengan perdes, maka pemerintah desa akan memiliki peluang untuk mencari dan mengelola dananya secara mendiri untuk pembiayaan pembangunan desa. Terkait dengan itu, pendidikan politik untuk calon kepala desa dan calon anggota BPD relevan untuk dilaksanakan.
3. Pendidikan Politik Untuk Politisi Lokal, terutama Kelangan Perempuan
 Salah satu keluhan warga yang mewarnai atmosfero politik pasca terpilihnya anggota legislative adalah kinerja lembaga legislative yang rendah. Rendahnya kinerja legislatif ini terkait dengan pemahaman anggota legislatif terhadap tugas-tugasnya. Dengan demikian, pendidikan politik bagi politisi – kelak menjadi anggota legislatif – mutlak diperlukan.
 Pendidikan politik juga menjadi penting untuk kelangan politisi perempuan. Ini selain untuk memenuhi isyarat undang-undang tentang kuaota 30 persen untuk perempuan, pendidikan politik bagi perempuan juga menjadi relevan dilaksanakan agar kebiajakan politik yang diambil tidak selalu dan selamanya bias gender.
4. Pengembangan Lembaga Pemantau Kinerja Legislatif dan Eksekutif
 Pengembangan lembaga pemantau parlemen yang merupakan salah satu andalan bidang kajian politik dan otronomi daerah, harus direaliasaikan sehingga kirja parlemen setiap saat dapat dipublikasikan secara terbuka kepada rakyat sebagai model pertanggungjawab anggota dewan kepada konstituennya.
 Lembaga ini juga menjadi keberadaannya penting dengan asumsi: jika peraturan yang mengatur tentang Badan Kehormatan Dewan benar-benar tidak mengakomodasi orang luar dewan, maka lembaga pemantau konerja dewan akan menjadi pengimbang Badan Kehormatan Dewan yang keseluruhan anggota adalah anggota Dewan sendiri.
5. Pendampingan Pengembangan Ekonomi Rakyat
 Pendampingan pengembangan ekonomi rakyet di sini dipahami tidak semata-mata sebatas aktivitas pemberdayaan ekonomi secara ril. Dalam pengembangan ekonomi rakyat diperlukan intervensi terhadap proses penyusunan dan impelemntasi APBD. Dengan begitu, maka APBD diharapkan akan lebih diarahkan untuk mengambangkan/menguatkan ekonomi rakyat secara langsung.
 Selain itu, sudah barang tentu, pendampingan atau penguatan kapasitas rakyat untuk bisa mendesain ekonominya pada tingkat yang paling mikro, serta keterampilan rakyat mempengaruhgi eksekutif dan legislatif dalam memilih program pembangunan, untuk penguatan ekonomi rakyat – seperti pilihan industri dan akses pesar – mutlak diperlukan. Metode pendampingan, di sini, menjadi penting dipertimbangkan sehingga rakyat bisa berdaya pada satu saat nanti.

PROFIL GOCEFA

GOCEFA, adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lokal yang concern terhadap masalah-masalah tata kelola negara/pemerintahan yang baik (good governance). GOCEFA didirikan oleh alumni lokakarya multi stakeholders Partisipative Good Governance Assessment (PGA), hasil kerja bareng Partnership Governance Reform in Indonedia (PGI) dengan sejumlah aktivis di Ternate.
Dalam dua kali lokakarya, peserta menyepakati, pelaksanaan tata kelola negara/pemerintahan di Indonesia pada umumnya, dan Maluku Utara pada khusunya, amat sangat jelak. Akibat pengelolaan negara/pemerintahan yang itu, berakibat pada: Indonesia dalam waktu yang panjang “dicap bukan sebagai negara demokrasi” dan “negara yang paling menggar HAM”. Di atas semuanya itu, akibat pengelolaan negara/pemerintahan yang jelak, maka korupsi yang sebagai “musuh negara-negara modern”, di Indonesia dianggap sebagai hal wajar. Elite penyelenggaran negara yang bersih dari korupsi, dianggap sebagai individu-individu yang aneh – yang antik.
Mengacu pada fakta-fakto tersebut, peserta lokakarya kemudian memutuskan untuk melakukan advokasi terhadap penyelenggaraan tata kelola negara/pemerintahan yang baik. Keinginan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia yang kini berada di tubir jurang perpecahan karena diakibatkan oleh pengelolaan negara/pemerintah yang jelak. Karena itu, Indonesia harus “dirakir kembali” agar tidak makin terjerumus ke dalam perpecahan melalui perbaikan tata kelola negara/pemerintahan yang baik. Merakit kembali Indonesia melalui penyelenggaraan tata kelola negara/pemerintahan yang baik, mestilah dimulai dari daerah.
Tapi untuk mengadvokasi masalah-masalah good governance, harus dilakukan secara sistem dan berkelanjutan. Dengan demikian, membutuhkan lembaga yang secara sengaja visi, missi dan tujuannya diabdikan untuk penyelenggaraan good governance. Dengan asalan itu, maka sebagian alumni PGA lalu mendirikan LSM GOCEFA. Ada dua alasan mengapa nama GOCEFA dipilih:

1. Nama sebuah lembaga harus bisa mewakili kepentingan daerah, dalam hal ini, setidaknya, kata yang terpilih berbau “lokal” sehingga lebih akrab dengan telinga orang daerah. Meski namanya “berbau” lokal, namun nama tersebut bida dijual di aras nasional dan internasional. 
2. Tetapi karena LSM yang akan didirkan concern kepada masalah-masalah governance, maka dalam nama yang akan dipilih harus mampu mencerminkan muatan governance. 

Melalui dua pertimbangan ini, Alwi Sagaf, salah satu aktivisi yang mefasilitasi lokakarya PGA I-II, memilih nama GOCEFA, yang dalam bahasa lokal = Ternate, berarti Rakit. Dari situ, Saudara Taufik Majid, kolega Alwi Sagaf, memberikan kepanjangan nama GOCEFA dengan Governance Education For Action. Makna nama ini juga kemudian Visi GOCEFA dirumuskan: “Menyelamatkan Indonesia Meniscayakan Perbaikan Tata Kelola Negara/Pemerintahan Yang Baik”.
Melalui nama dan visi ini, pendiri GOCEFA bersepakat mematok tujuan GOCEFA adalah untuk melakukan Pendidikan Untuk Aksi Terselenggaranya Tata Kelola Nagara/Pemerintahan Yang Baik di Maluku Utara, sebagai salah satu cara Merakit Indonesia yang dimulai dari daerah. Sebagai lembaga yang concern pada pendidikan untuk aksi terhadap masalah-masalah good governance, maka strategi yang dipilih GOCEFA untuk mensukseskan tujuannya dengan cara melakukan penyadaran kepada publik, bahwa masalah good governance bukan semata tanggung jawab pemerintah (government). Tata kelola negara/pemerintahan yang baik adalah tanggung jawab setiap warga negara.

Program 2005-2006
SEKITAR satu tahun setengah setelah didirikan, GOCEFA mengambil sikap untuk “tidak dulu go public”. Hampir seluruh kegiatan dikemas dalam bentuk diskusi internal antar pendiri – yang kemudian menjadi pengurus GOCEFA. Diskusi intensif yang dikemas secara informal itu, para pendiri GOCEFA melakukan pemetaan pendalaman masalah-masalah good governance di Maluku Utara. Diskusi-diskusi internal itu juga berhasil memetakan bahawa lembaga/pejabat penyelenggara negara, adalah pihak-pihak yang melanggar prinsip-prinsip good governance.
Diskusi-diskusi internal seperti, memang bisa dinilai sangat tidak produktif. Apalagi tidak disertai “sentakan” kecil yang bersifat massif setelah tindak lanjut diskusi. Namun, harus diakui, dengan diskusi itu, personel GOCEFA bisa lebih solid mewujudkan cita-cita bersama. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan secara mandiri (pribadi) mendanai kegiatan GOCEFA selama “menjual” gagasannya kepada funding.
Selama tahun Juni 2005 sampai dengan Juli 2006, GOCEFA mendapat hibah dari UNDP, melalui Partnership Governanve Reform in Indonesia, pendaan dunia program utama di Kota Ternate, yakni “Fasilitasi Tata Tertib DPRD Kota Ternate Yang Berbasis Partisipatif” dan “Advokasi Mewujudkan ABPD Kota Ternate Yang Berpihak Kepada Kepentingan Publik dan Kalangan Marginal”.
Mengapa GOCEFA memilih dua program ini? Seperti terlah disebutkan di atas, hasil diskusi internal GOCEFA menghipotesisi bahwa lembaga/pejabat penyelenggara Negara adalah pihak-pihak yang paling melanggar prinsip-prinsip good governance. Agar prinsip-prinsip good governance dapat terwujud, maka lembaga yang pertama harus disentuh adalah legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga ini mesti bisa menjamin partisipasi publik serta mengarus-uatamakan kepentingan publik dalam setiap kebijakan publik, yang merupan salah satu prasyarat terlaksananya good governance. 
Di legislatif, misalnya, keberadaan Tata Tertib DPRD, salah satu produk politik, yang kemudian berstatus semacam “hukum”, yang berfungsi sebagai aturan baku mekanisme aktivitas dewan, dianggap sebagai aturan internal. Dan karena penyusunan Tatib DPRD telah di atur oleh ketentuan yang lebih tinggi, maka ia bersifat sangat normatif. Akibatnya, jaminan partisipasi publik tidak terakomodasi. Padahal, meski Tatib adalah aturan internal, namun karena aktivitas dewan selalu berhubungan dengan publik, karena juga anggota legislatif adalah wakil rakyat, maka Tatib mereka pun seharusnya menjamin partisipasi publik dalam setiap kegiatan mereka yang berkaitan dengan rakyat. Karena itu, maka Tatib DPRD Kota Ternate, dipandang perlu untuk dirubah sehingga bisa menjamin partisipasi publik.
Memang tidak mudah merubah Tatib DPRD Kota Ternate yang sudah berlaku sekarang. Namun bukan berarti mustahil dilakukan perubahan. Sejumlah peraturan dan perundangan-undangan yang saling bertentangan, pada satu sisi, serta dinamika sosal politik lokal yang cepat berubah (hamper tidak bisa dikendalikan), tampaknya bisa dijadikan sebagai alasan perubahan Tatib tersebut. Peraturan dan perundangan-undangan yang saling bertentangan tersebut, tak pelak, telah mengakibatkan kegamangan anggota DPRD Kota Ternate, apakah harus mengambil sikap politik dengan membentuk Badan Khormatan Dewan yang melibatkan orang luar atau mereka harus berjalan terus tanpa Badan Kehormatan Dewan?
Brbagai aspirasi rakyat yang disampaikan dengan cara-cara demostrasi, harus diakui, merupakan representasi dari tiadanya jaminan partisipasi publik dalam dalam Tatib DPRD. Dan agar penyempaian aspirasi rakyat kepada wakilnnya bisa berjalan lebih santun dan beradab, maka perubahan Tatib mutlak diperlukan. Asumsinya, meski anggota DPRD telah dipilih melalui pemilihan legislatif, namun pemilihan tersebut tidak bisa dilihat merupakan “obat paten yang mampu menyembuhkan semua penyakit”. Mekanisme lain pasca pemilu, patut dirumuskan sehingga aspirasi rakyat bisa terekam dan teragragasi secara baik oleh anggota legislatif. Dan itu harus melalui Tatib DPRD. 
Berbarengan dengan itu, eksekutif pun harus disentuh melalui penyusunan APBD. Mengapa APBD yang menjadi sasaran advokasi GOCEFA, karena dalam kebijakan publik, ada adigium yang diterima secara umum, bahwa politic is about budgeting. Pendapat yang sering diungkapkan oleh pakar tidaklah tertalu meleset. Sebab penganggaran pada dasarnya adalah pembuatan berbagai pilihan atau prioritas untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pada prakteknya, pilihan perioritas sangat terkait dengan masalah-masalah politik yang menyangkut tawar-menawar antar berbagai kekuatan yang mempunyai kewenangan untuk menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting. 
Dalam Negara-negara yang demokratis program yang muncul dalam anggaran pendapatan dan belanja adalah rencana kegiatan yang berdasarkan aspirasi takyat. Sebaliknya, di negara-negara yang dikauasai rezim otoriter, program-program yang dirancang cenderung menguntungkan kelompok elit. Pengalaman Indonesia selama tiga dekade Orde Baru, adalah bukti bahwa program disusun tidak berdasarkan kepada kepentingan rakyat. Publik bahkan sama sekali tidak mengatahuai anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah. Publik juga tidak dilibatkan dalam pengawasan penggunaan anggaran, yang kemudian menghasilkan kebocoran anggaran – menurut Soemitro sebesar 30 persen.
Penyakit kronik peninggalan Orde Baru – kebocoran anggaran – kemudian di atasi melalui otonomisasi daerah dan perimbangan kekuasangan antara pusat daerah. Dengan kebijakan politik ini, pemerintah daerah diharapkan memiliki ruang yang cukup untuk menyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sesuai kebutuhan daerahnya – atau setidak-tidaknya diasumsikan sesuai aspirasi rakyat. Namun pada parkteknya, kedua kebijakan ini, dalam kasus tertantu, makin memberi peluang kepada elite lokal – eksekutif dan legislatif menyusun anggaran pendapatan dan belanja yang hanya menguntung elite lokal. 
Otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pada kenyataannya bahkan makin tidak memedulikan kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama. Konsekuensinya, otonimi daerah yang sejak awal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan, karena rentang kendali pelayanan penyelenggara negara makin dekat kepada rakyat, tetapi karena anggaran pendapatan dan belanja daerah disusun tidak menurut kepentingan dan aspirasi rakyat – atau anggaran pendapatan dan belanja disusun dengan tidak memperioritaskan kepentingan publik, maka harapan kesejahteraan rakyat pun makin “jauh api dari panggang”. Secara umum, kondisi seperti ini masih terjadi di Maluku Utara. Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sangat kurang berpihak kepada kepentingan rakyat dan kalangan marginal. 
Tidak mudah, memang, mewujudkan tujuan-tujuan proyek seperti ini. Agar tujuan kegiatan bisa tercapai dengan baik, maka GOCEFA akan melakukan serangkaian kegiatan yang melibatkan publik yang luas. Dengan cara itu, diharapkan akan muncul kesadaran dan gerakan bersama – tentu dengan cara-cara yang santun dan beradab – untuk memastikan jaminan partisipasi publik dalam Tatib DPRD Kota Ternata dan Tersedianya APBD Kota Ternate Yang Berpihak Kepada Kepentingan Umum dan Kalangan Marginal.