Jumat, 04 Juli 2008

PROFIL GOCEFA

GOCEFA, adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lokal yang concern terhadap masalah-masalah tata kelola negara/pemerintahan yang baik (good governance). GOCEFA didirikan oleh alumni lokakarya multi stakeholders Partisipative Good Governance Assessment (PGA), hasil kerja bareng Partnership Governance Reform in Indonedia (PGI) dengan sejumlah aktivis di Ternate.
Dalam dua kali lokakarya, peserta menyepakati, pelaksanaan tata kelola negara/pemerintahan di Indonesia pada umumnya, dan Maluku Utara pada khusunya, amat sangat jelak. Akibat pengelolaan negara/pemerintahan yang itu, berakibat pada: Indonesia dalam waktu yang panjang “dicap bukan sebagai negara demokrasi” dan “negara yang paling menggar HAM”. Di atas semuanya itu, akibat pengelolaan negara/pemerintahan yang jelak, maka korupsi yang sebagai “musuh negara-negara modern”, di Indonesia dianggap sebagai hal wajar. Elite penyelenggaran negara yang bersih dari korupsi, dianggap sebagai individu-individu yang aneh – yang antik.
Mengacu pada fakta-fakto tersebut, peserta lokakarya kemudian memutuskan untuk melakukan advokasi terhadap penyelenggaraan tata kelola negara/pemerintahan yang baik. Keinginan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia yang kini berada di tubir jurang perpecahan karena diakibatkan oleh pengelolaan negara/pemerintah yang jelak. Karena itu, Indonesia harus “dirakir kembali” agar tidak makin terjerumus ke dalam perpecahan melalui perbaikan tata kelola negara/pemerintahan yang baik. Merakit kembali Indonesia melalui penyelenggaraan tata kelola negara/pemerintahan yang baik, mestilah dimulai dari daerah.
Tapi untuk mengadvokasi masalah-masalah good governance, harus dilakukan secara sistem dan berkelanjutan. Dengan demikian, membutuhkan lembaga yang secara sengaja visi, missi dan tujuannya diabdikan untuk penyelenggaraan good governance. Dengan asalan itu, maka sebagian alumni PGA lalu mendirikan LSM GOCEFA. Ada dua alasan mengapa nama GOCEFA dipilih:

1. Nama sebuah lembaga harus bisa mewakili kepentingan daerah, dalam hal ini, setidaknya, kata yang terpilih berbau “lokal” sehingga lebih akrab dengan telinga orang daerah. Meski namanya “berbau” lokal, namun nama tersebut bida dijual di aras nasional dan internasional. 
2. Tetapi karena LSM yang akan didirkan concern kepada masalah-masalah governance, maka dalam nama yang akan dipilih harus mampu mencerminkan muatan governance. 

Melalui dua pertimbangan ini, Alwi Sagaf, salah satu aktivisi yang mefasilitasi lokakarya PGA I-II, memilih nama GOCEFA, yang dalam bahasa lokal = Ternate, berarti Rakit. Dari situ, Saudara Taufik Majid, kolega Alwi Sagaf, memberikan kepanjangan nama GOCEFA dengan Governance Education For Action. Makna nama ini juga kemudian Visi GOCEFA dirumuskan: “Menyelamatkan Indonesia Meniscayakan Perbaikan Tata Kelola Negara/Pemerintahan Yang Baik”.
Melalui nama dan visi ini, pendiri GOCEFA bersepakat mematok tujuan GOCEFA adalah untuk melakukan Pendidikan Untuk Aksi Terselenggaranya Tata Kelola Nagara/Pemerintahan Yang Baik di Maluku Utara, sebagai salah satu cara Merakit Indonesia yang dimulai dari daerah. Sebagai lembaga yang concern pada pendidikan untuk aksi terhadap masalah-masalah good governance, maka strategi yang dipilih GOCEFA untuk mensukseskan tujuannya dengan cara melakukan penyadaran kepada publik, bahwa masalah good governance bukan semata tanggung jawab pemerintah (government). Tata kelola negara/pemerintahan yang baik adalah tanggung jawab setiap warga negara.

Program 2005-2006
SEKITAR satu tahun setengah setelah didirikan, GOCEFA mengambil sikap untuk “tidak dulu go public”. Hampir seluruh kegiatan dikemas dalam bentuk diskusi internal antar pendiri – yang kemudian menjadi pengurus GOCEFA. Diskusi intensif yang dikemas secara informal itu, para pendiri GOCEFA melakukan pemetaan pendalaman masalah-masalah good governance di Maluku Utara. Diskusi-diskusi internal itu juga berhasil memetakan bahawa lembaga/pejabat penyelenggara negara, adalah pihak-pihak yang melanggar prinsip-prinsip good governance.
Diskusi-diskusi internal seperti, memang bisa dinilai sangat tidak produktif. Apalagi tidak disertai “sentakan” kecil yang bersifat massif setelah tindak lanjut diskusi. Namun, harus diakui, dengan diskusi itu, personel GOCEFA bisa lebih solid mewujudkan cita-cita bersama. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan secara mandiri (pribadi) mendanai kegiatan GOCEFA selama “menjual” gagasannya kepada funding.
Selama tahun Juni 2005 sampai dengan Juli 2006, GOCEFA mendapat hibah dari UNDP, melalui Partnership Governanve Reform in Indonesia, pendaan dunia program utama di Kota Ternate, yakni “Fasilitasi Tata Tertib DPRD Kota Ternate Yang Berbasis Partisipatif” dan “Advokasi Mewujudkan ABPD Kota Ternate Yang Berpihak Kepada Kepentingan Publik dan Kalangan Marginal”.
Mengapa GOCEFA memilih dua program ini? Seperti terlah disebutkan di atas, hasil diskusi internal GOCEFA menghipotesisi bahwa lembaga/pejabat penyelenggara Negara adalah pihak-pihak yang paling melanggar prinsip-prinsip good governance. Agar prinsip-prinsip good governance dapat terwujud, maka lembaga yang pertama harus disentuh adalah legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga ini mesti bisa menjamin partisipasi publik serta mengarus-uatamakan kepentingan publik dalam setiap kebijakan publik, yang merupan salah satu prasyarat terlaksananya good governance. 
Di legislatif, misalnya, keberadaan Tata Tertib DPRD, salah satu produk politik, yang kemudian berstatus semacam “hukum”, yang berfungsi sebagai aturan baku mekanisme aktivitas dewan, dianggap sebagai aturan internal. Dan karena penyusunan Tatib DPRD telah di atur oleh ketentuan yang lebih tinggi, maka ia bersifat sangat normatif. Akibatnya, jaminan partisipasi publik tidak terakomodasi. Padahal, meski Tatib adalah aturan internal, namun karena aktivitas dewan selalu berhubungan dengan publik, karena juga anggota legislatif adalah wakil rakyat, maka Tatib mereka pun seharusnya menjamin partisipasi publik dalam setiap kegiatan mereka yang berkaitan dengan rakyat. Karena itu, maka Tatib DPRD Kota Ternate, dipandang perlu untuk dirubah sehingga bisa menjamin partisipasi publik.
Memang tidak mudah merubah Tatib DPRD Kota Ternate yang sudah berlaku sekarang. Namun bukan berarti mustahil dilakukan perubahan. Sejumlah peraturan dan perundangan-undangan yang saling bertentangan, pada satu sisi, serta dinamika sosal politik lokal yang cepat berubah (hamper tidak bisa dikendalikan), tampaknya bisa dijadikan sebagai alasan perubahan Tatib tersebut. Peraturan dan perundangan-undangan yang saling bertentangan tersebut, tak pelak, telah mengakibatkan kegamangan anggota DPRD Kota Ternate, apakah harus mengambil sikap politik dengan membentuk Badan Khormatan Dewan yang melibatkan orang luar atau mereka harus berjalan terus tanpa Badan Kehormatan Dewan?
Brbagai aspirasi rakyat yang disampaikan dengan cara-cara demostrasi, harus diakui, merupakan representasi dari tiadanya jaminan partisipasi publik dalam dalam Tatib DPRD. Dan agar penyempaian aspirasi rakyat kepada wakilnnya bisa berjalan lebih santun dan beradab, maka perubahan Tatib mutlak diperlukan. Asumsinya, meski anggota DPRD telah dipilih melalui pemilihan legislatif, namun pemilihan tersebut tidak bisa dilihat merupakan “obat paten yang mampu menyembuhkan semua penyakit”. Mekanisme lain pasca pemilu, patut dirumuskan sehingga aspirasi rakyat bisa terekam dan teragragasi secara baik oleh anggota legislatif. Dan itu harus melalui Tatib DPRD. 
Berbarengan dengan itu, eksekutif pun harus disentuh melalui penyusunan APBD. Mengapa APBD yang menjadi sasaran advokasi GOCEFA, karena dalam kebijakan publik, ada adigium yang diterima secara umum, bahwa politic is about budgeting. Pendapat yang sering diungkapkan oleh pakar tidaklah tertalu meleset. Sebab penganggaran pada dasarnya adalah pembuatan berbagai pilihan atau prioritas untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pada prakteknya, pilihan perioritas sangat terkait dengan masalah-masalah politik yang menyangkut tawar-menawar antar berbagai kekuatan yang mempunyai kewenangan untuk menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting. 
Dalam Negara-negara yang demokratis program yang muncul dalam anggaran pendapatan dan belanja adalah rencana kegiatan yang berdasarkan aspirasi takyat. Sebaliknya, di negara-negara yang dikauasai rezim otoriter, program-program yang dirancang cenderung menguntungkan kelompok elit. Pengalaman Indonesia selama tiga dekade Orde Baru, adalah bukti bahwa program disusun tidak berdasarkan kepada kepentingan rakyat. Publik bahkan sama sekali tidak mengatahuai anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah. Publik juga tidak dilibatkan dalam pengawasan penggunaan anggaran, yang kemudian menghasilkan kebocoran anggaran – menurut Soemitro sebesar 30 persen.
Penyakit kronik peninggalan Orde Baru – kebocoran anggaran – kemudian di atasi melalui otonomisasi daerah dan perimbangan kekuasangan antara pusat daerah. Dengan kebijakan politik ini, pemerintah daerah diharapkan memiliki ruang yang cukup untuk menyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sesuai kebutuhan daerahnya – atau setidak-tidaknya diasumsikan sesuai aspirasi rakyat. Namun pada parkteknya, kedua kebijakan ini, dalam kasus tertantu, makin memberi peluang kepada elite lokal – eksekutif dan legislatif menyusun anggaran pendapatan dan belanja yang hanya menguntung elite lokal. 
Otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pada kenyataannya bahkan makin tidak memedulikan kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama. Konsekuensinya, otonimi daerah yang sejak awal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan, karena rentang kendali pelayanan penyelenggara negara makin dekat kepada rakyat, tetapi karena anggaran pendapatan dan belanja daerah disusun tidak menurut kepentingan dan aspirasi rakyat – atau anggaran pendapatan dan belanja disusun dengan tidak memperioritaskan kepentingan publik, maka harapan kesejahteraan rakyat pun makin “jauh api dari panggang”. Secara umum, kondisi seperti ini masih terjadi di Maluku Utara. Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sangat kurang berpihak kepada kepentingan rakyat dan kalangan marginal. 
Tidak mudah, memang, mewujudkan tujuan-tujuan proyek seperti ini. Agar tujuan kegiatan bisa tercapai dengan baik, maka GOCEFA akan melakukan serangkaian kegiatan yang melibatkan publik yang luas. Dengan cara itu, diharapkan akan muncul kesadaran dan gerakan bersama – tentu dengan cara-cara yang santun dan beradab – untuk memastikan jaminan partisipasi publik dalam Tatib DPRD Kota Ternata dan Tersedianya APBD Kota Ternate Yang Berpihak Kepada Kepentingan Umum dan Kalangan Marginal.

Tidak ada komentar: